Agenda Murwa Candika Digelar di Situs Watugenuk
BOYOLALI – Umat Hindu di Kabupaten Boyolali mengikuti ritual Murwa Candika pada Sabtu (16/11/2019) bersama dengan komunitas pemerhati cagar budaya, mBo’ja lali. Ritual ini dipusatkan di situs atau Candi Watugenuk di Desa Kragilan; Kecamatan Mojosongo.
Ritual diawali dengan menyiramkan air kendi ke situs Watugenuk, dimana air tersebut diambil dari punden Watugenuk yang tidak jauh dari pintu masuk kawasan Kampung Air Kragilan. Keberadaan punden tersebut dipercaya sebagai salah satu sumber mata air tertua bagi masyarakat Watugenuk.
Ritual berikutnya, kesembilan kendi berisi air diarak menuju sebuah situs peninggalan zaman kebudayaan Hindu. Situs ini terletak di tengah area ladang penduduk, dimana masyarakat sekitar menyebutnya dengan Watugenuk.
Situs ini berwujud lingga dan yoni. Dipimpin seorang pinandita atau pemuka agama Hindu, Sutoyo, kirab diiringi tari rakyat yang ditampilkan alumni Duta Seni dan Misi Kebudayaan Pelajar Kabupaten Boyolali. Sesampainya di situs Watugenuk, air dari sembilan kendi kemudian diguyurkan ke lingga dan yoni dengan cara berjalan memutar.
Sesepuh sekaligus tokoh agama Hindu, Sumastopo mengungkapkan bahwa ritual Murwa Candika tidak berbeda jauh dengan tradisi yang kerap diadakan oleh umat Hindu.
“Konsep ini kemudian disederhanakan menjadi Murwa Candika karena yang dibersihkan adalah lingga dan yoni yang merupakan bagian dari candi,” katanya.
Dijelaskan lebih lanjut, sembilan kendi melambangkan sumber sembilan semesta, delapan mata angin dan satu poros yang ada di tengah. Dimana setiap delapan penjuru mata angin memiliki dewa penguasa atau yang dikenal dengan Nawa Dewata.
Konsep Nawa Dewata ini selaras dengan kepercayaan Jawa kuno sebelum masuknya ajaran Hindu dan Budha,” tutrnya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Boyolali, Budi Prasetyaningsih mengungkapkan situs di Watugenuk ini sudah diregistrasi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah dengan memberikan nomor inventaris pada lingga dan yoni.
“Cagar budaya yang ada di masyarakat monggo dirawat, dilestarikan kemudian dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk masyarakat bersama. Jika sudah ada angkanya maka sudah diregistrasi oleh BPCB,” kata Budi. (Tim Liputan Diskominfo Kabupaten Boyolali)